Disaat Badai Bergelora |
Posted: 28 Jan 2015 12:58 AM PST Aku adalah anak ke 5 dari 10 bersaudara. Lahir dari sebuah keluarga suku Batak, yang tidak jelas agama atau keyakinan tentang Tuhan. Ya, sejak kami kecil, orang tua tidak pernah mengajari kami tentang Tuhan, beribadah apalagi berdoa kepada seorang Pribadi bernama Yesus. Kami bertumbuh besar dan mencari konsep Tuhan melalui pelajaran agama di sekolah, kadang ikut sekolah minggu di salah satu gereja tradisi dan setelah menginjak SMP dan SMA dan seterusnya, kami mulai mencari gereja untuk tempat kami beribadah. Kami dibesarkan dengan pola pendidikan yang keras, minim pujian, belaian atau ekspresi kasih sayang dari orang tua. Wajar saja, karena kami tinggal di kampung, hidup pas-pasan dengan orang tua yang sibuk dengan pekerjaan ladang dan hampir tidak pernah ada waktu untuk bersantai dan bercengkerama. Omelan dan pukulan akan sangat mudah kami dapatkan, lakukan saja sebuah kesalahan, pasti akan kena marah. Tapi, ketika melakukan banyak kebaikan, belum tentu dapat perhatian dan pujian dari orang tua. Itulah keluargaku. Seiring berjalannya waktu, abangku yang tertua, yang diharapkan bisa mendapatkan pekerjaan bagus dan menopang perekonomian keluarga, malah memilih untuk menjadi pelayan full time di sebuah gereja di kota Medan. Itu membuat orang tua kami yang pada dasarnya bukan beragama apalagi berlandaskan Kristen marah dan kecewa pada keputusan abang. Mereka uring-uringan, dan kerap aku dengar nada sepele atau meremehkan profesi atau pekerjaan abang ketika orang tuaku bercerita dengan keluarga atau sanak famili. Tapi, abangku tidak surut. Dia tetap setia melayani dan membantu hidup orang untuk dimenangkan menjadi pengikut Kristus. Tidak terkecuali kami adik-adiknya. Satu per satu kami merantau ke kota Medan dan mengikuti proses pendalaman Alkitab, menjalani pertobatan, mengalami perubahan hidup dan mengambil keputusan untuk menjadi murid Yesus. Kami hidup dalam sukacita, meski orang tua awalnya keberatan dengan keputusan kami, tapi pada akhirnya mereka kehabisan kata-kata, karena mereka bisa melihat dan merasakan banyak sekali hal positif yang kami lakukan dalam keluarga. Kami selalu bahu-membahu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi keluarga. Saling peduli, saling menopang dan saling membantu ketika kami sama-sama tinggal dan bekerja di kota Medan. Orang tua di kampung pun merasa tenang dan yakin kami di perantauan baik-baik saja, tidak terlibat pergaulan bebas, judi, narkoba atau tindak kriminal lainnya seperti yang banyak dialami oleh orang tua di kampung yang anaknya merantau ke kota. Pada awal tahun 2010, kakakku nomor 4 mengeluhkan sakit perut, dan ketika diperiksa, ternyata ada kista yang cukup besar dan harus diangkat segera dengan cara operasi, bahkan salah satu ovariumnya juga harus diangkat, karena ukuran kista yang sudah besar dan menyebar. Tentu saja kami merasa kaget dan sedih dengan keadaan itu. Setelah berdiskusi keluarga, akhirnya kami ikuti anjuran dokter. Dengan berharap kakak kami akan segera pulih pasca operasi. Tapi, ternyata tidak cukup sampai di situ. Pemeriksaan selanjutnya dari sampel yang dikirim ke laboratorium, ternyata kakak divonis terjangkit penyakit mematikan, kanker stadium 3C. Oh Tuhan, kami hanya bisa berdoa dan berpasrah diri kepada Tuhan, sambil terus mencari cara untuk pengobatan dan penyembuhan kakak tanpa kemoterapi atau operasi mengangkat ovarium yang tinggal satu seperti saran dokter. Bahkan ada dokter yang dengan sombongnya mengatakan orang-orang yang sakit kanker seperti kakak hanya merugikan negara dan hidup pun tidak lama lagi. Tidak sopan sekali dokter itu ya? Emang sih, di tempat prakteknya itu gelar dokternya sangat panjang, jadi mungkin itu yang membuat dia merasa pantas mengatakan hal seperti itu kepada pasien yang sedang menderita. Masa-masa pemulihan kakak setelah operasi tidaklah cepat. Dia masih banyak berbaring di rumah, sambil terus mengkonsumsi obat yang entah sampai kapan habis. Kami semua bahu membahu untuk menolong dan mendukung kakak agar tidak down dan putus asa dengan keadaannya. Kami tidak terlalu melibatkan orang tua yang tinggal di kampung, agar mereka tidak terganggu bolak balik ke Medan untuk merawat kakak. Biarlah kami yang bergantian melakukannya. Dan hal yang paling aku ingat sampai sekarang (setelah 5 tahun berlalu) adalah ketika kakak masih dalam masa pemulihan, abangku yang nomor 3 mengalami kecelakaan di jalan raya. Malam Minggu sepulang mengantar teman gereja, seorang remaja putri dengan kecepatan tinggi menabrak motornya dari belakang, membuat abangku terseret dan terjatuh, luka-luka dan yang paling parah adalah kakinya yang hampir semuanya luka karena beradu dengan aspal (kebetulan sewaktu kejadian abang hanya memakai sandal jepit). Kami merasa ini adalah ujian berikutnya dari Tuhan. Dan kami masih cukup kuat menghadapinya. Tapi ternyata belum selesai. Besok paginya (hari Minggu itu kami ibadah sore), kakak nomor 3 dengan suaminya datang berkunjung ke rumah untuk melihat keadaan abang. Setelah ngobrol-ngobrol dan makan siang, mereka bermaksud pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap ibadah sore. Dan tak sampai hitungan 15 menit setelah meninggalkan rumah, tiba-tiba kakak menelepon sambil menangis, suasana sangat berisik. Ternyata mereka mengalami kecelakaan karena seorang perempuan pengendara motor yang tiba-tiba datang dari persimpangan dan seenaknya langsung masuk ke jalan raya, sehingga tabrakan tidak terhindarkan. Ah, lagi-lagi pengendara perempuan yang menyumbangkan masalah pada kami. Kakak terlempar dari sepeda motor, terhempas ke jalan, dengan barang bawaan yang berserakan di jalan raya. Rasa shock, sakit akibat terlempar dari motor dan lecet-lecet di badan campur aduk menjadi satu. Pada malam harinya, sesudah kami pulang dari ibadah, kami duduk di lantai ruang tamu, dengan kakak nomor 4 terbaring dengan mata tertutup menahan rasa sakit bekas operasi, abang nomor 3 mengolesi minyak dan menahan rasa sakit dan nyeri di kakinya yang luka dan mengelupas, kakak nomor 2 dengan suaminya mengelus-elus badan mereka yang memar-memar, (abang nomor 1 dengan keluargnya sudah dikirim untuk memimpin gereja di Manado) aku dan adik-adikku hanya bisa mengelus dada dan menitikkan air mata melihat kondisi keluargaku yang dirundung badai. Tapi, malam itu kami berkumpul bukan untuk mengeluh, bukan pula untuk saling menyalahkan atau berputus asa dengan kehidupan yang keras. Tapi, kami berkumpul pada malam itu, untuk bersatu hati, berdoa, menyerahkan hidup kami kepada Tuhan, sang Pemilik Hidup. Bukankah mudah saja bagi-Nya untuk menyembuhkan kami, atau menghindarkan kami dari segala pencobaan? Tapi, semua itu diizinkan-Nya terjadi untuk sebuah kebaikan. Karena itulah kami berdoa dan berserah diri kepada Tuhan, berterima kasih buat kekuatan yang Dia berikan untuk kami menjalani hidup kami ini. Sekarang kakak nomor 4 sehat dan hidup dengan normal, tanpa kemoterapi dan tanpa operasi lanjutan. Tuhan menyertai obat-obatan herbal dan usaha kami untuk mendapatkan kesembuhan itu. Bahkan bulan September 2014 lalu, kakak menikah dengan seorang pria yang cinta Tuhan dan mau menerima dia apa adanya. Bahkan dengan resiko tidak akan memiliki keturunan, karena sebelah ovarium sudah diangkat. Tapi, Tuhan sangat ajaib, dengan mudahnya Tuhan menitipkan calon keponakanku di rahimnya, dan kini telah memasuki 3 bulan bertumbuh dengan sangat baik di dalam kandungannya. Di saat badai bergelora, apakah kami akan jatuh terpuruk atau terbang bersama Tuhan? Kami bisa memilih. Tuhan Yesus memberkati. Salam, Lidia Disaat Badai Bergelora is a post from: Renungan Harian Kristen |
Posted: 27 Jan 2015 04:00 PM PST Adakah seseorang yang merasa bangga dengan masa lalunya? Adakah yang ingin kembali menjadi pribadi sama seperti masa lalunya? Seseorang yang tidak pernah bersyukur adalah orang yang belum bisa menerima apa yang dia miliki saat ini, bahkan ada beberapa orang yang ingin hidup seperti masa lalunya. Sampai kapan kehidupan kita akan terus-menerus dihantui oleh masa lalu? Munkin ada banyak ancaman dan ketakutan pada masa lalu dan banyak masa sukar yang telah terlewati pada masa lalu. Sebelum pikiran kita kembali dipengaruhi oleh masa lalu, cobalah untuk bisa melihat diri kita sekarang ini. Bersyukurlah dengan apa yang ada dan lupakan hal-hal menyakitkan di masa lalu. Ketika kita begitu ketakutan untuk menghadapai hal yang sama pada masa lalu, maka kita harus bisa mengubah kehidupan kita. Bila kita ingin mendapatkan masa depan yang baik, maka lihatlah apa yang telah kita lakukan saat ini. Apakah kita sudah melakukan yang terbaik? Jika kita ingin mendapatkan yang terbaik di masa depan, maka kita harus melakukan yang terbaik pula di masa sekarang. Jangan jadikan masa lalu sebagai dasar untuk mengubah masa depan, namun lihatlah Tuhan Yesus yang akan selalu memampukan kita untuk bisa meraih hal-hal terbaik pada masa depan. Buang keluh kesah yang ada dan gantilah dengan ucapan syukur. Buang kegelisahan yang ada dengan pengharapan di dalam Tuhan Yesus, maka hidup kita akan penuh dengan damai sejahtera. Ketahuilah, demikian hikmat untuk jiwamu: Jika engkau mendapatnya, maka ada masa depan, dan harapanmu tidak akan hilang. Amsal 24:14 Lihatlah Dirimu is a post from: Renungan Harian Kristen |
You are subscribed to email updates from Renungan Harian Kristen To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
@